Indonesia di Antara Dua Pandemi

Awal Maret Indonesia digemparkan oleh adanya dua warga di daerah depok yang diumumkan positif terpapar virus Corona (Covid-19). Fakta ini secara tidak langsung menepis opini bahwa Indonesia kebal dengan virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, Cina ini. Sebelum fakta ini muncul di permukaan, beberapa pihak sudah memaparkan prediksi bahwa virus Covid-19 telah ada di Indonesia. Prediksi ini dipaparkan oleh Prof. Marc Lipstich seorang peneliti dari Harvard T. H. Chan School of Public Health, Amerika Serikat. Prof. Marc Lipstich medasarkan pernyataannya berdasarkan riset prediksi dengan regresi linier yang membandingkan data kunjungan manusia ke sebuah negara dengan jumlah kasus yang terdeteksi sehingga didapatkan rata-rata secara internasional. Berdasarkan kajian tersebut, Indonesia seharusnya telah terdapat 5 kasus terdeteksi.
Interpretasi dan respon beberapa pihak terhadap hasil riset ini beragam. Menariknya beberapa pihak merespon bahwa hasil riset ini merupakan sebuah penghinaan. Ada kegagalan interpretasi dalam fenomena ini. Riset ini diterima sebagai sebuah penilaian terhadap kemampuan sebuah negara dalam penanganan kasus covid-19 bukan sebagai pengingat akan potensi terjangkit Covid-19 di sebuah negara. Dalam sebuah wawancara di kanal youtube Nadhira Nuraini Afifa, Prof. Marc Lipstich memaparkan bahwa hasil risetnya merupakan sebuah prediksi persebaran Covid-19 bukan penilaian terhadap kemampuan deteksi dan survei Covid-19 oleh sebuah negara. Kajian ini juga tidak difokuskan pada sebuah negara saja, di Asia Tenggara ada beberapa negara yang menjadi sampel diantaranya Kamboja, Thailand dan Singapura.
Kasus terjangkit virus Covid-19 mengalami tren kenaikan dan penurunan setiap harinya setelah pertama kali diumumkan awal Maret. Berbagai kebijakan dan anjuran dibuat untuk menekan transmisi penyebarannya. Beberapa anjuran yang dipublikasikan di ruang publik semisal anjuran untuk menerapkan social distancing yang kemudian berkembang menjadi physical distancing sesuai anjuran WHO. Anjuran untuk melakukan karantina mandiri pun disampaikan untuk menekan transmisi Covid-19 agar tidak semakin meluas.
Masyarakat kemudian akrab dengan istilah istilah terkait dengan Covid-19 seperti social distancing, physical distancing dan lockdown yang diterapkan oleh beberapa negara. Komunikasi yang dibangun pihak berwenang dengan berbagai anjuran tersebut masif dilakukan di berbagai media. Tetapi kenyataannya anjuran ini belum dipahami dan diterapkan secara maksimal oleh masyarakat. Prof. Efendi Gazali dalam forum Indonesia Lawyers Club (ILC) menyatakan bahwa ada kegagalan dalam pengiriman makna di kondisi pandemi ini. Hal ini terbukti ketika adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta tetapi masih banyak pelanggaran yang terjadi. Pelanggaran terbaru dan sempat viral di media sosial adalah adanya sereminial penutupan Mc Donald Sarinah sehingga didatangi banyak orang dan menghasilkan kerumunan.
Komunikasi penanganan Covid-19 tidak hanya gagal dalam pengiriman makna tetapi beberapa hal dinilai kurang tepat dalam keadaan pandemi. Beberapa di antaranya adanya pernyataan yang menimbukan berbagai makna mengenai orang kaya dan miskin mengenai penularan Covid-19. Kenyataannya Covid-19 tidak memilih kaya atau miskin ketika menjakiti manusia. Komunikasi di saat pandemi akan dinilai efektif dan tepat apabila maksud yang disampaikan dapat diterima oleh masyarakat secara utuh. Apabila maksud dari informasi tidak diterima secara utuh akan berpotensi menimpulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu sebaiknya informasi yang disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan memasyarakat.
Masyarakat yang terjangkiti terus bertambah setiap harinya. Meskipun demikian ada kabar baik yang dapat melegakan masyarakat, salah satunya adalah pasien yang sembuh juga mengalami peningkatan setiap harinya. Fenomena-fenomena di sekitar juga terus berkembang, beberapa diantaranya adalah adanya penolakan terhadap pemakaman jenazah korban Covid-19 dan penolakan terhadap tenaga medis di lingkungan tinggalnya oleh masyarakat. Sikap masyarakat tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya kurangnya pemahaman mengenai pandemi covid-19 serta adanya kegagalan komunikasi risiko menjadikan sugesti ketakutan kepada masyarakat.
Fenomena yang terbaru adalah dibukanya kembali transportasi umum yang sebelumnya ditutup. Protokol kesehatan diharuskan untuk diterapkan dalam pengoperasian transportasi umum. Alhasil banyak masyarakat menggunakan kesempatan ini untuk bepergian di tengah kondisi pandemi Covid-19. Salah satunya adalah Bandar Udara Soekarno Hatta yang dipenuhi oleh calon penumpang dan menimbulkan kerumunan yang tidak mengindahkan physical distancing karena kurangnya arahan dari pengelola.
Keresahan lain yang ditimbulkan saat pandemi Covid-19 tidak hanya berasal dari kegagalan pengiriman makna dan pemahaman mengenai keadaan pandemi. Beberapa pihak memanfaatkan keadaan pandemi untuk mendongkrak popularitas. Fenomena bantuan sosial yang diberikan label atau foto dari salah satu pejabat daerah adalah salah satunya. Prank atau gurauan dilakukan oleh sekelompok pemuda yang memberikan bantuan berisi sampah adalah contoh lainnya. Dalih yang digunakan tentu untuk eksistensi semata dengan mengesampingkan nurani.
Berbagai fenomena dari mulai masuknya Covid-19 di Indonesia telah menandakan bahwa Indonesia tidak hanya berada pada keadaan pandemi yang menyerang kesehatan masyarakat dan menimbulkan adanya korban jiwa. Tetapi memunculkan pandemi lain yang menyerang pemikiran manusia di seluruh lapisan masyarakat. Kedua pandemi ini sama-sama memiliki akibat yang fatal. Jika pandemi Covid-19 berakibat banyaknya korban jiwa. Maka pandemi yang menyerang pemikiran berakibat mematikan nalar dan nurani manusia.