Ada Apa dengan Gelar?

Beberapa waktu terakhir masyarakat khususnya warganet ramai membahas mengenai seorang publik figur yang mendapat gelar kehormatan dari salah satu kampus luar negeri yang membuka cabangnya di Indonesia. Hal ini menjadi ramai diperbincangkan karena kampus yang memberikan gelar kehormatan tersebut dinilai fiktif oleh warganet. Persepsi tersebut berkembang bukan tanpa alasan. Pasalnya tersebar video dari salah satu warganet yang mencoba untuk mencari keberadaan kampus tersebut di negara asalnya hingga kantor cabangnya di Indonesia. Usaha warganet tersebut gagal karena tidak menemukan wujud fisik dari kampus tersebut di negara asalnya maupun kantor cabangnya di Indonesia.

Pihak kampus kemudian memberikan klarifikasi bahwa kampus tersebut membuka program perkuliahan secara daring. Kemenristekdikti juga memberikan klarifikasi terkait perizinan kampus yang memberikan gelar kehormatan kepada publik figur tersebut. Kemenristekdikti menyampaikan bahwa kampus tersebut belum memiliki izin operasional untuk membuka cabang maupun menyelenggarakan pendidikan di Indonesia.

Menilik ke belakang, polemik mengenai gelar kehormatan juga sempat ramai diperbincangkan oleh masyarakat. Hal ini karena adanya pengajuan gelar kehormatan oleh seorang pejabat tinggi yang diduga terdapat kejanggalan di dalam prosesnya. Meskipun akhirnya gelar tersebut tidak dikabulkan, entah karena memang tidak memenuhi persyaratan atau karena ramai diperbincangkan masyarakat sebelum dikabulkan.

Tren permberian gelar kehormatan kepada pejabat atau publik figur merupakan fenomena yang terjadi karena bertemunya kebutuhan kampus untuk promosi dan kebutuhan branding diri dari pejabat atau publik figur. Pemberian gelar kehormatan oleh kampus dan penerimaan gelar oleh pejabat atau publik figur dapat dikatakan sebagai simbiosis mutualisme karena saling menguntungkan di antara keduanya.

Kerja sama dalam bentuk iklan konvensional yang melibatkan pejabat atau publik figur sudah dirasa usang dan tidak efektif untuk promosi kampus. Oleh sebab itu, menjadikan pejabat dan publik figur sebagai bagian dari kampus dirasa lebih efektif untuk promosi. Sehingga kampus berebut untuk memberikan gelar pada pejabat atau publik figur. Hal ini menjadi ironi karena konten promosi kampus yang idealnya berisi program akademik dan pengembangan keilmuan bergeser menjadi siapa yang menjadi bagian dari kampus tersebut.

Gelar dan Kepakaran

Gelar yang dahulu dianggap sakral karena menjadi cerminan intelektualitas dan kontribusi besar seseorang, hari ini menjadi komoditas untuk kepentingan pragmatis semata. Hal ini menjadi ironis karena masyarakat awam akan menilai universitas berdasarkan siapa yang menjadi bagian dari kampus tersebut, bukan dari pusat kepakaran dan keilmuan yang dimiliki kampus.

Fenomena ini mengarah pada apa yang disebut oleh Tom Nicols dalam bukunya yang berjudul The Death of Expertise yang dalam bahasa Indonesia kemudian diterjemahkan menjadi buku berjudul Matinya Kepakaran. Judul buku tersebut telah mencerminkan isinya bahwa penulis memaparkan mengenai kepakaran yang tidak lagi menjadi rujukan utama di dalam kehidupan. Masyarakat lebih mempercayai sumber-sumber dari internet yang bebas dan mudah untuk diakses sewaktu-waktu tanpa harus belajar bertahun-tahun di universitas. Masyarakat juga lebih percaya pada orang-orang populer yang biasa mereka lihat di media sosial. Akhirnya, gelar sekadar menjadi alat untuk membentuk citra dari seseorang, bukan lagi menjadi penanda dari kepakaran dan kontribusi seseorang.

Gerakan desakralisasi gelar menjadi salah satu tindakan nyata yang dilakukan oleh beberapa akademisi untuk mengembalikan fungsi gelar dan tanggung jawab dari gelar yang disandang. Selain gerakan organik dari kelompok akademisi, pemangku kebijakan sebaiknya juga bertindak tegas sesuai dengan Permendikbudristek Nomor 65 tahun 2016 jika memang pemberian gelar kehormatan tidak memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan.

Pemberian gelar kehormatan sebaiknya juga dikembalikan pada tujuan awalnya yang secara lengkap telah tercantum dalam Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 1980. Sehingga pemberian gelar kehormatan menjadi apresiasi atas kontribusi besar yang dilakukan oleh penerima. Bukan sekadar menjadi sarana promosi bagi universitas dan membentuk citra diri bagi penerima.